Sabtu, 10 Juli 2010

Mahasiswa, Intelektualisme, dan Anarkisme


Sangat banyak fakta sejarah mendeskripsikan betapa mahasiswa memiliki peran penting mengubah sejarah kebangsaan dan perjalanan demokrasi dalam konstalasi bangsa dan negara. Ya, mahasiswa adalah sosok istimewa dari masa ke masa, baik di negara maju maupun di negara berkembang seperti Indonesia.

Fakta membuktikan bahwa mahasiswa-lah yang memelopori revolusi 1956 di Hongaria. Gelombang demo anti perang 1962-1970 di Eropa dan Amerika Serikat memaksa Presiden Richard Nixon menarik pasukan dari Vietnam dan Kamboja. Revolusi Iran pun pada tahun 1979 berawal dari demo di kampus-kampus.

Mahasiswa sebagai salah satu gerakan moral berperan penting sebagai pelopor perubahan di tanah air. Oleh karena itu, wajar jika sepak terjang mahasiswa selalu dijadikan tolok ukur dalam setiap geliat perubahan yang terjadi hampir di seluruh negara.

Di Indonesia, sebut saja gerakan angkatan 66, gerakan ini adalah awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, di mana sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan. Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa menentang komunis yang ditukangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia).

Kemudian, gerakan mahasiswa agkatan 1972 yang menolak produk Jepang dan sinisme terhadap warga keturunan. Gerakan angkatan ini dikenal dengan terjadinya peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari).

Selanjutnya, gerakan mahasiswa era sembilan puluhan mencuat dengan agenda Reformasi-nya yang mencapai klimaksnya pada 1998. Kala itu, mahasiswa mendapat simpati dan dukungan yang luar biasa dari rakyat dan berhasil menumbangkan Orde Baru dengan ditandai lengsernya kekuasaan 32 tahun Soeharto dari kursi kepresidenan.

Sejalan dengan perputaran waktu, ruh pergerakan dan perjuangan tokoh mahasiswa dahulu seperti pada zaman Soe Hok Gie, Arif Budiman, hingga aktivis 98, kini kelihatannya telah mengalami pergeseran nilai.

Aksi mahasiswa yang dulunya berupa pergerakan yang intelek, analitis dan mengedepankan nalar positif, saat ini mahasiswa sering dimanfaatkan sebagai alat permainan isu dan manajemen konflik oleh pihak yang berkepentingan dan kerap berakhir dengan tindakan anarkis.

Kerusuhan mahasiswa yang sering terjadi di beberapa daerah memperlihatkan betapa mahasiswa masih mudah dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis dan tindakan anarki antarmahasiswa yang sering dipertontongkan adalah kenyataan riil dari potret mahasiswa kita saat ini.

Gerakan mahasiswa tidak lagi bisa merumuskan isu-isu yang bersifat kerakyatan yang membela masyarakat banyak. Sejatinya, mahasiswa sebagai sebuah organ intelektual senantiasa mengaktualisasikan segenap pemikirannya untuk suatu hal positif yang fungsinya sebagai agent of change, social control dan man of analize sepantasnya melakukan gerakan melalui metode yang lebih cerdas dan intelek.

Hari-hari belakangan ini, aksi mahasiswa khususnya di Makassar sedang dalam sorotan di berbagai media nasional. Anarkisme seolah menjadi opini publik dan menjadi ciri setiap mahasiswa yang sedang berunjuk rasa.

Aksi tawuran dan demonstrasi mahasiswa, baik itu antara mahasiswa dengan aparat keamanan, dengan warga ataupun antara mahasiswa itu sendiri yang tidak hanya adu fisik dan argumen, aksi demonstrasi kerap berakhir anarkis, pemblokiran jalanan umum, pengrusakan fasilitas umum bahkan tidak jarang menelan korban jiwa.

Aksi unjuk rasa itu sendiri tidak salah, karena ia merupakan perwujudan dari kehendak untuk mengeluarkan pendapat yang dilindungi undang-undang. Tapi perbuatan yang anarkis mestinya dihindari.

Aksi dan pergerakan yang diwarnai dengan konfrontasi fisik akan menyudutkan pergerakan mahasiswa dan menimbulkan stigma negatif akan gerakan mahasiswa. Stigma negatif yang dilengketkan kepada gerakan mahasiswa tersebut menghancurkan tatanan ideal yang menjadi karakter mahasiswa itu sendiri.

Sejatinya, gerakan mahasiswa adalah sebuah perjuangan untuk kepentingan rakyat, namun penutupan jalan dan pengrusakan fasilitas umum jelas akan mengubah persepsi masyarakat yang awalnya menganggap mahasiswa sebagai komunitas intelek menjadi komunitas pelaku kriminalitas dan tindakan keonaran.

Selain itu, kekhawatiran akibat seringnya aksi anarkis terjadi di Makassar yang dikenal dengan budaya orang Sulsel yang suka menghargai orang lain, juga dirasakan juga terhadap sendi-sendi pemerintahan seperti sektor investasi dan kegiatan pariwisata.

Oleh karena itu, tawuran mahasiswa harus menjadi PR serius bagi dunia pendidikan di Sulsel, karena perilaku tawuran seperti ini akan terus berlangsung sepanjang hal ini tidak ditangani secara komprehensif, dan pada satu sisi akan menunjukkan ambruknya sistem dunia pendidikan.

Peran Lembaga Pendidikan

Ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperoleh mahasiswa dari dunia perguruan tinggi dengan bisnis utama pendidikan dan penelitian menjadi sangat penting bagi kita semua, utamanya bagi generasi mendatang.

Ironisnya, jumlah pengangguran bergelar yang melanda Indonesia semakin memprihatinkan. Hal tersebut membuka mata kita terhadap mutu sumber daya manusianya dan dengan sendirinya juga terhadap mutu pendidikan yang menghasilkan sumber daya manusia itu.

Baru-baru ini World Competitiveness Report melaporkan bahwa tingkat pengangguran di Indonesia tertinggi di antara negara-negara ASEAN dan kualitas sumberdaya manusia Indonesia memiliki daya saing sangat rendah, yaitu urutan ke-95 dari 133 negara dan tentunya akan berdampak serta menyebabkan daya saing tenaga kerja serta produk negara ini juga menjadi rendah.

Sedangkan laporan pembangunan manusia (HDR) awal Oktober 2009 menempatkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia berada di urutan ke-111, jauh di bawah Brunei (30), Malaysia (63), Thailand (78), Vietnam(105), serta lebih rendah dibandingkan dengan Sri Lanka (102) dan Palestina (110).

Peran lembaga pendidikan diharapkan menjadi modal yang amat penting bagi peningkatan standar kualitas kehidupan manusia melalui sentuhan intelektualitas. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa kesuksesan seseorang 20 persen ditentukan penguatan intelektual dan 80 persen adalah penguatan emosional.

Oleh karena itu, kampus dalam menghasilkan alumni yang berkualitas, tentunya tidak cukup dengan pendekatan intelektualitas saja, namun tak kalah penting adalah pendekatan emosi.

Demikian pula diperlukan perubahan mindset bahwa setiap generasi muda ini harus kembali kepada hati nurani, kejujuran, kecerdasan intelektual, dan menyadari betul posisinya sebagai bagian dari warga negara yang punya kesadaran hakiki dan kematangan berpikir membangun bangsa. (**)