Rabu, 04 Agustus 2010

Manifesto EKO - ANARKISME

Tuan-tuan, kami bukanlah binatang yang bisa tuan jinakkan dengan aturan-aturan setan yang tuan buat sekehendak hati tuan. Kami ini manusia yang punya akal dan hati. Kami bisa memilih sendiri mana yang benar dan baik bagi kami. Tidak perlu tuan ajari dengan hukum dan pentung polisi. Jangan pernah mencoba untuk menggurui kami dengan pikiran-pikiran yang tuan bilang beradab dan modern itu. Kami lebih mengenal bau tanah dan sudut-sudut di desa kami.

Apa lagi?! Tuan ingin membicarakan kenakalan kami? Baik. Kejahatan yang kami lakukan hanya muncul karena kekuasaan yang tuan-tuan miliki. Harap tuan catat, kejahatan hanya muncul ketika ada kekuasaan yang melahirkan aturan dan pentungan !!! Tidakkah tuan belajar dari kisah adam dan hawa ?! Meraka hanya memetik buah larangan ketika setan menggodanya. Kita ini pada dasarnya hanif tuan. Hanya setan berupa kekuasaan yang membuat kami meninggalkan kehanifan kami. Demikian pula dengan tuan. Apakah tuan akan melenyapkan setan sejarah itu dengan pasukan yang dibentuk oleh setan?

Tuan mendakwahkan diri tuan sebagai penyelamat peradaban, sebagai pengatur dari masyarakat bar-bar yang bahkan tidak mengerti kebaikan untuk diri sendiri. Apakah tuan tidak sadar bahwa kekuasaan yang tuan miliki untuk mengatur dan menghukum kami yang bar-bar ini adalah sumber dari kebar-baran itu sendiri? Tuan hanya merepetisi sejarah kebodohon sejak zaman adam. Bahkan keledaipun tidak akan tersuruk pada lubang yang sama.

Mungkin tuan bisa berkilah kalau negara ini adalah negara demokrasi, tempat di mana kekuasaan tertinggi berada di tangan kami dan kami adalah penentu nasib dan masa depan kami sendiri. Kami-pun bebas bersaing mendapat keuntungan tanpa campur tangan negara. Tuan, otak kami tidak sebodoh dan sedungu yang tuan kira. Tolong, perlakukan kami sebagai manusia dan bukan sebagai anjing.

Demokrasi yang tuan sebut hanya bisa kami rayakan lima tahun sekali. Lima tahun sekali kami berpura-pura larut dalam pesta artifisial yang tuan persiapkan dengan megah. Kami tahu bahwa status kami hanyalah penggembira karena aktor utama hanyalah tuan-tuan pemodal dan mantan tentara. Tapi kami tetap berpura-pura bertepuk tangan meski tidak pernah kami diberi tempat untuk ikut bermain. Peluru dan kokang yang dibawa anjing tuan terlalu menakutkan bagi perut lapar kami. Demokrasi bagi kami hanyalah tai !!!

Dan apakah yang tuan sebut persaingan bebas itu? Tuan, bahkan anak kecil pun tahu kalau permainan catur disebut persaingan bebas karena kedua pemain punya jumlah bidak, benteng, kuda, mentri dan, ster yang sama. Tapi tuan, dalam permainan catur bernama globalisasi ini, kami hanya punya lima bidak sedangkan tuan-tuan kulit putih itu punya lima ster dan empat benteng. Persaingan bebas mana yang tuan maksudkan?!

Cukup sudah dengan omong kosong membosankan ini !!! Sekarang kami ingin menuntut.. Kami ingin kembali kepada hakikat hanif kami dengan menghapus setan sejarah bernama kekuasaan yang memaksa kami melakukan kejahatan.

Kekuasaan pertama adalah negara. Kami tidak pernah mengenal negara tuan. Nasionalisme bagi kami hanya bayangan yang tidak jelas bagaimana wujud serta bentuknya. Dia adalah omong kosong pria kulit putih bernama Gellner yang mengimpikan komunitas berdasarkan rasionalitas pembagian kerja industrial. Puih !!! Kami tidak berhubungan dengan tetangga kami hanya karena prinsip keuntungan dan kerugian tuan. Kami hanya ingin mengenal dan bersapa. Dan apa pula rasionalitas pembagian kerja itu? Apakah itu berarti bahwa sebagian besar dari kami seumur hidupnya akan tetap menjadi kuli yang khawatir akan makan apa esok hari? Sementara tuan-tuan asyik dengan caddy-caddy cantik yang setiap saat bisa tuan tiduri? Tuan, Indonesia sudah gagal. Buat apa dipertahankan?!

Tuan, kami hanya mengenal desa. Unit terkecil yang bisa kami diami, kami kenal, dan kami resapi makna setiap jengkalnya. Tidak ada batasan teritorial pada desa. Kami hanya mengenal patok, ukuran tidak jelas yang menjadi batas desa kami dengan desa tetangga. Kami sadar bahwa alam tidak pernah mengenal batas tanah melainkan batas rantai makanan. Dan batas-batas itu yang kami patuhi. Bukan batas teritorial berdasarkan kepimilikan tanah yang hanya akan mengundang darah. Kami tidak menginginkan nama besar dan kejayaan ruang kuasa global. Kami sadar bahwa menara tinggi-menara tinggi selalu disangga oleh darah dari lecutan komrador-komprador lokal.

Kekuasaan yang kedua adalah alat. Tuan, alat-alat yang tuan promosikan akan mempermudah hidup kami justru malah semakin mempersulit diri kami. Kami sudah terbiasa bertahun lamanya menggunakan cangkul dan bajak untuk bersapa dengan tanah di desa kami. Tapi tuan mengenalkan kami dengan traktor dan istilah mengolah dan menguasai tanah untuk perut yang lebih kenyang. Tuan, alam punya batasan sendiri yang harus dipatuhi. Traktor-traktor itu membuat tanah di desa kami kelelahan memproduksi padi. Dia merusak rantai makanan yang menjadi sumber kelestarian desa kami.

Di sisi lain, kami pun menjadi sangat bergantung pada kebaikan hati tuan-tuan berkulit putih ketika traktor itu rusak. Ini adalah bentuk kekuasaan yang paling kejam dan menindas. Kami ingin alat-alat yang bisa kami produksi dan perbaiki sendiri.

Kami sadar bahwa cangkul dan bajak tidak akan memproduksi sebanyak traktor-traktor yang tuan perkenalkan. Kami juga sadar bahwa cangkul dan bajak akan membiarkan kami kelaparan di tengah kemarau panjang. Tapi biarlah kami tetap menggunakan cangkul dan bajak. Cangkul dan bajak tidak akan membiarkan tanah di desa kami kelelahan menumbuhkan padi, saat cucu kami menggantikan ayahnya mencangkul dan membajak. Dan kelaparan pun sudah biasa kami jalani. Kelaparan mengingatkan kami akan untuk tidak tergoda pada keangkuhan yang melupakan batasan kami sebagai manusia yang bergantung pada alam.

Tuan, kami sudah muak dengan sabda kemajuan yang tuan dengungkan tiap hari di televisi. Kami menghitung hari tidak dengan perhitungan tanggal dan kemungkinan akumulasi modal yang biasa tuan lakukan. Bagi kami, hari ini adalah perulangan dari hari kemarin karena kami menghitung hari dengan musim. Pepatah hari ini harus lebih baik dari hari kemarin bagi kami bermakna sebagai semakin kayanya penghayatan kami akan tugas kami di muka bumi. Bahwa kami adalah makhluk terbatas yang tidak punya kemungkinan lain selain menghamba pada misteri kekuatan hidup dan alam yang biasa tuan sebut dengan kata tuhan. Bahwa satu-satunya kemungkinan bagi penghambaan itu adalah dengan turut berpartisipasi dalam harmoni alam, bukan dengan mengubah apalagi merusaknya demi kepentingan diri.

Tuan, biarkan kami mendiami bumi tanpa perlu menguasai. Ini harga mati !!!

Ekoteologi : Mendekati Tuhan Melalui Perspektif Ekologi

tulisan ini sebenarnya refleksi kuliah Human Ecology dan Ekonomi Sumber Daya Alam di semester yang lalu, walau tidak mendapat nilai maksimal, tapi 2 (dua) mata kuliah ini benar-benar menginspirasi, membuat gelisah, dan menjadi stimulus bagi integrasi dengan wacana-wacana lain. Apalagi ini tentang lingkungan hidup yang dalam kajian fundamentalistik di Malang dahulu, selalu ditempatkan di posisi kesekian setelah kajian teologi termasuk dunia gaib dan kajian ibadah ritual termasuk moralitas individu. Kali ini saya ingin mengurai uneg-unek, kalau boleh dibilang begitu, sekedar beromantisme dengan spirit masa lalu.

Agama menurut saya sejauh ini membuktikan mampu berbicara panjang lebar dan detail mengenai “dunia gaib” (surga, neraka, malaikat, jin, alam akhirat termasuk bidadari di dalamnya), ibadah ritual (shalat, puasa, zikir beserta ornamennya), teologi (sifat dan zat Tuhan), moralitas individual dan lain-lain, namun hampir-hampir tidak menyinggung aspek lingkungan hidup (ekologi). Padahal lingkungan adalah masalah yang sangat mendasar dalam kehidupan kita.

Sebagai konsekuensi logis fungsi agama untuk manusia, agama selalu difungsikan untuk menopang segala upaya demi keberlangsungan hidup umat manusia. Perubahan iklim yang kini mengancam kehidupan merupakan ulah manusia, karenanya musti menjadi perhatian khusus teologi. Agama yang baik adalah agama yang menjaga dan melestarikan, bukan menghancurkan dan memusnahkan kemanusiaan. Demikian Hans Kung menegaskan. Karenanya, diperlukan rekayasa teologis untuk kepedulian lingkungan sebagai format agama di masa yang akan datang.

Sebaliknya, sebagaimana dijelaskan Stephen Sulaiman Schwartz dalam The Two Face of Islam: Saudi Fundamentalism and Its Role Terrorism bahwa jika agama tidak memberikan kontribusi bagi kehidupan manusia, despotik, dan tak acuh terhadap kehidupan, tidak menutup kemungkinan akan lenyap ditelan sejarah manusia sebagaimana pernah dialami agama pagan. Tetapi,Schwartz hendak menegaskan bahwa secara normatif teologi Islam tidak demikian. Corak teologi yang hanya mengurus Tuhan an sich dan melupakan persoalan bumi tidak akan bertahan lama. Masa depan agama akan ditentukan sejauh mana ia bermanfaat untuk kehidupan manusia di bumi.

Karena itu, sudah seharusnya nalar bumi ditegakkan pada akar teologi. Penempatan manusia sebagai khalifah fil al ardhi dalam Islam sesungguhnya bukan berarti menegaskan perspektif human sentris dengan menempatkan bumi berada dalam kuasa manusia secara mutlak untuk bebas dikonversi dan dieksploitasi. Tetapi, sebagai wakil-Nya, manusia harus menjaga kelestarian alam. Keterciptaan manusia dari tanah memerankan bumi laiknya “ibu”yang melahirkan Adam hingga beranak-pinak. Sebagai “ibu”,ia harus dirawat dan dikasihi, bukan dieksploitasi dan dikonversi tanpa moral dan etika. Itulah tugas sejati kekhilafahan manusia atas bumi. Bumi dan seisinya bukan dzat mati dan tanpa spiritualitas.

Tuhan berkal-ikali menjelaskan bahwa bumi dan seisinya senantiasa sabbaha lillaahi maa fissamaawaati wal-ardhi memuji-Nya, siang dan malam. Islam berupaya memposisikan alam dan manusia saling tergantung satu sama lain. Sekalipun demikian, kesadaran bumi yang sebenarnya ada dalam tradisi ajaran Islam, kurang mendapatkan ruang di dalam ilmu-ilmu praksis seperti fiqh. Padahal, inilah inti kekuatan tradisi Islam, bukan pada aspek teologis. Karenanya, perlu juga merancang fiqh bumi sehingga orang yang merusak dapat digolongkan sebagai kafir ekologis.:)

Karena itu pula menegakkan nalar bumi bukan hanya kebutuhan, melainkan desakan untuk dimanifestasikan ke ranah yang lebih praksis, mengingat ancaman ekologis akibat global warming semakin mengkhawatirkan. Alam seperti halnya manusia memiliki carrying capacity-nya sendiri. Dalam teori Human Ecology, dikenal slogan ; “Pushing ecosystem to the limit is risky”. Jika ekosistem didorong mendekati batas stability domain-nya dengan menggunakan ecosystem services terlalu intensif, fluktuasi ekosistem alam dapat mendorong ekosistem ke domain yg lain dimana ecosystem services-nya berkurang.

Agama masih tetap memiliki ruang untuk menciptakan peradaban baru yang menyeimbangkan antara kemajuan teknologi-industri dengan kesadaran untuk menghargai alam. Dengan demikian, agama tidak melulu mengurus “langit” dan melupakan urusan bumi yang mengancam keberlangsungan umat manusia.

Akibat orang tidak mengindahkan lingkungan, malapetaka terjadi di mana-mana. Bukankah banjir dan sejumlah penyakit mematikan seperti demam berdarah juga terkait dengan masalah lingkungan? Dunia tidak hanya terjangkit krisis ekonomi, krisis moneter, krisis moral, krisis politik, krisis iptek, krisis budaya dan sebagainya tetapi juga krisis lingkungan.

Lihat juga pemandangan mengerikan dewasa ini: gempa, tsunami, banjir, tanah longsor, polusi, badai, cuaca yang labil dan sebagainya hampir datang bertubi-tubi, silih berganti. Dunia seakan mengamuk dan destruktif sehingga menjadi ancaman serius bagi kehidupan manusia. Sudah tidak terhitung lagi berapa nyawa yang melayang, berapa jumlah anak yatim-piatu atau orang tua yang kehilangan buah hatinya yang masih tersisa, berapa jumlah harta benda dan properti lain yang amblas ditelan bencana. So, mengapa umat beragama (termasuk umat Islam) tidak menganggap penting masalah lingkungan sebagaimana ibadah ritual-individual? Kenapa kita tidak tertarik melakukan penghijauan, kebersihan dan kegiatan lain yang bernuansa ramah lingkungan dan mencegah berbagai madhlarat (efek samping negatif) yang mungkin ditimbulkan dari alam yang tidak sehat?

Sebaliknya, kenapa kita lebih bergairah mengikuti aktivitas rohani: pengajian, zikir nasional, istighotsah dan semacamnya? Kenapa, meskipun bencana alam sudah terjadi sejak zaman purba bersamaan dengan kehidupan manusia, umat beragama tidak kunjung merenovasi wawasan keagamaan dan teologinya-sebuah wawasan keagamaan atau teologi yang berbasis ekologi (ekoteologi).

Tidak sedikit pula pada setiap terjadi bencana atau malapetaka, umat beragama dengan enteng tanpa beban dan perasaan dosa sedikit pun menganggap (menuduh?) sebagai takdir Tuhan, Sebagai cobaan atau azab dari Tuhan. Tuhan selalu “dikambinghitamkan” setiap terjadi malapetaka. Seperti kata Ebiet G. Ade, “tengoklah ke dalam sebelum bicara, singkirkan debu yang masih melekat”. Hampir tidak pernah, kita, menunjuk diri kita sendiri sebagai subjek yang bertanggung jawab terhadap malapetaka dan bencana tadi. Karena adanya keyakinan bahwa setiap malapetaka sebagai “siksa” atau “cobaan” dari Tuhan, maka setiap kali terjadi bencana yang dilakukan umat beragama adalah berdoa, mohon ampun, istighotsah, menggelar zikir nasional sambil menangis.

Saya tidak sedang meremehkan aktivitas ritual batin semacam ini akan tetapi terapi spiritual jenis ini di samping merendahkan (bahkan “mengolok-olok”) martabat Tuhan karena menganggap-Nya sebagai zat yang “Maha Buas”, dan hanya akan mereda dengan permohonan ampun. Cara demikian bagi saya hanya akan mengartikan kita hendak “cuci tangan”-melepaskan tanggung jawab-dari musibah kemanusiaan itu.

Padahal, jika kita menggunakan perspektif Schumacher dalam A Guide for the Perplexed, masalah krisis lingkungan ini sangat terkait dengan krisis kemanusiaan, dengan moralitas sosial serta krisis orientasi kita terhadap Tuhan. Mengikuti kerangka berpikir Schumacher ini, maka seharusnya manusia yang dipersalahkan dan bukannya Tuhan. Kitalah yang melakukan berbagai tindakan destruktif terhadap alam semesta. Perusakan lingkungan, penebangan liar, eksploitasi properti alam secara besar-besaran dan segala tindakan merusak alam lain merupakan sumber malapetaka dan bencana tadi. Bukankah al-Quran sendiri juga telah mengingatkan bahwa “Kerusakan di darat dan laut adalah akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab”? Jika al-Quran sendiri menganggap manusia sebagai master mind dari kerusakan lingkungan, lalu kenapa kita justru menyalahkan Tuhan? Bukankah, kita umat manusia-jika mengikuti alur cerita kitab-suci agama Semit-pada dasarnya “terbuang” dari surga juga akibat tidak mengindahkan ajaran fundamental Tuhan, dan melanggar kearifan ekologi dengan telah memakan dan merusak pohon kekekalan.Wallau’alam…

disadur dari HMInews.com
Muhammad Ihwan

Mahasiswa IPB ‘09